Cerita tentang Ayah
“Jangan pernah mau diperbudak waktu”-Bapak
Membaca kata “Ayah”,
mungkin akan terlintas seseorang yang dengan gagahnya berdiri tegak,
berkacamata dan menggunakan jas. Berangkat kerja pukul 07.00 WIB lengkap dengan
tas jinjingannya yang membawa setumpukan berkas-berkas lengkap dengan laptop-nya, lalu pulang kerumah selepas maghrib, dengan wajah penat.
Bukan, bukan ayahku.
Ayahku bukan seperti itu.
Ayahku, yang biasa
kusapa dengan sebutan “Bapak”, adalah orang yang biasa. Biasa panas-panasan di
lapangan terbuka. Biasa mengupas botol-botol bekas untuk kemudian dijual
kembali, pun sampai tengah malam. Biasa berangkat pagi untuk mengangkut mobil tanki berisi air kepada para pembeli,
bahkan kadang dini hari sekalipun dilakoni. Meskipun pekerjaan sebenarnya
adalah, harus kusebut apa ya, orang yang suka mengatur jadwal angkut barang-barang produk dari sebuah
perusahaan untuk diangkut dan dikirim ke beberapa daerah. Bukan pegawai resmi
pula, yang gaji bulanannya tetap (bahkan bisa bertambah) dan mendekati hari
raya akan mendapatkan THR. Bukan, sekali lagi, ayahku bukan seperti itu.
Ayah adalah orang yang
biasa, termasuk biasa berbohong ketika anaknya meminta sesuatu. Ya, kadang
kusebut itu berbohong hanya sekedar membuat hati anaknya tak bersedih lagi. Ya,
aku juga tahu bahwa ayah tak pernah menganggap itu sebuah kebohongan, karena
ketika seorang anak menginginkan sesuatu yang penting dan memang sangat
diperlukan, ayah mana yang tak mau mewujudkannya? Meski harapan untuk
mewujudkannya sangat tipis. Seperti kala itu, ketika aku menangis, meminta
dibelikan laptop untuk tugas-tugas
sekolah karena aku malu untuk terus pinjam pada bibi ku yang sedang kuliah,
ayah bilang “nanti, Ayah belikan”, meskipun aku tahu kala itu bahwa ayah tengah
berbohong, hal itu tetap membuatku tenang, Yah.
Aku juga masih ingat,
betapa aku merengek menangis karena Ayah belum juga mampu membayar biaya les ku
selama (mungkin) dua bulan, sampai-sampai aku bolos les dihari itu. Sepele,
karena aku malu dengan guru les ku. Yang entah apa yang Ayah lakukan dihari
itu, sampai esok harinya, biaya itu lunas juga. Mungkin meminjam kepada sahabat
Ayah, atau bos Ayah, aku tak pernah tahu. Untuk biaya sekolah, sampai saat ini
aku sudah kuliah, masih begitu kan, Yah?
Ayah juga, yang sibuk
mengantarkanku, kala SMA dulu aku membuat laporan praktikum, mengantarku
kesana-kemari mencari tempat fotokopi yang buka untuk sekedar mencetak
laporannya. Itu memang salah ku juga yang mengerjakan H-1, namun Ayah tak
mengeluh dengan itu.
Ayah juga yang
mengantarku membelikan buku persiapan
sbmptn dulu. Iya, dulu ada jenis buku persiapan yang sangat aku inginkan,
karena ayah belum mampu membelikanku, akhirnya aku menabung dan meminta Ayah
mengantarkan, kala itu sore hari. Namun, ternyata di toko buku di kotaku habis,
meskipun ku bilang tidak apa-apa, akhirnya Ayah tahu juga bahwa aku menangis,
dan membiarkannya mengantarkanku sampai keluar kota untuk membeli buku itu.
Dengan berbekal sepeda motor butut, helm dan jaket, akhirnya kami bertiga
berangkat malamnya, bersama adikku yang dulu baru menginjak kelas 5 SD. Betapa
aku makin sedih, karena ternyata di toko buku disanapun, bukunya habis. Dan
–aku tahu Allah ada dibalik ini semua- taraaa... seorang pegawai menghampiriku
dan mengatakan aku beruntung, karena ternyata setelah dicari lagi, tertinggal
satu buku yang memang sesuai dengan keinginanku. Aku sangat ingat, sesampainya
dirumah Ayah mengatakan “Nah, gitu dong,
jangan cemberut terus. Baru bisa senyum, pas nemu bukunya” dan aku memang hanya
bisa senyum mendengar ayah mengatakan itu.
Aku juga masih ingat,
dulu ketika masih SD, aku harus membawa bekal buah-buahan, dan akhirnya Ayah
dan aku pergi membeli disebuah supermarket dekat alun-alun kota. Pulangnya
ternyata hujan, dan akhirnya Ayah meminta plastik kepada kasir untuk dipakaikan
ke kepalaku, sedangkan ayah hujan-hujanan dibawah helmnya. Ayah, aku sangat
ingat waktu itu aku memelukmu dibelakang
sangat erat, takut Ayah kedinginan.
Ayah, ingat dulu ketika
aku SMP menjadi ratu di acara perpisahan sekolah, karena nilaiku tertnggi
diantara yang lain? Kala itu, Ayah mendampingiku. Sampai sekarang, aku masih
saja sering melihat foto itu, mengenangnya, dan membayangkan ketika aku menikah
nanti Ayah juga yang akan mendampingiku.
Teringat waktu TK dulu,
kala Ayah dan Mama bertengkar hebat sampai esoknya yang kulihat jendela bolong
dan pecahan kaca berserakan didepan rumah. Ayah tak tahu kemana. Entahlah, aku
taktahu masalah apa, mungkin karena masalah ekonomi, karena kala itu Ayah dan
Mama dipecat dari pekerjaaannya masing-masing. Masih dengan jelas kuingat, Ayah
beberapa hari tidak pulang kerumah dan mama menangis. Hingga akhirnya, waktu
itu mama membawaku ke suatu rumah-aku lupa, dan beberapa hari kemudian Ayah dan
Mama rujuk kembali. Entah perasaan apa yang kurasakan dulu, yang kurasakan saat
ini, aku sedih. Terlebih, pernah juga ketika SMA, kejadian dulu hampir
terulang. Hal yang tak pernah kusuka adalah hal yang meributkan masalah ekonomi
dan keuangan.
Ayah sering kali
mengatakan bahwa pendidikan itu penting, seberapapun besar biayanya, kalau
memang diniatkan akan selalu ada rezekinya, meskipun rezeki itu didapat berasal
dari pinjaman atau kerja sekalipun.
Mungkin itu yang
menjadi prinsip ayahku, ketika Ayah menyekolahkan adik-adiknya. Sempat aku
berpikir, bahwa keluargaku yang paling malang diantara keluarga saudara-saudara
Ayah yang lain. Betapa tidak, Ayahku hanya seorang lulusan SLTA, dibandingkan
dengan Teteh dan adik-adiknya yang lain, yang semuanya berpendidikan tinggi,
menjadi guru, tentara dan bahkan wartawan. Berkaca dari itu, aku sering merasa
sedih. Setelah aku tahu apa yang terjadi, kagumku pada ayah semakin bertambah.
Ayah ternyata bangga dengan saudara/i-nya yang berpendidikan tinggi, ayah
bahkan rela bekerja untuk membantu membiayai pendidikan mereka, dan tidak
melanjutkan perguruan tinggi. Pernah Ayah mengatakan “saudara-saudara Ayah saja
pendidikannya tinggi-tinggi, anak-anak ayah juga ya harus lebih tinggi lagi,
nggak perlu lah mandag ayahnya kayak gimana, yang penting anaknya kayak
gimana”.
Itu yang menjadi salah
satu motivasiku untuk melanjutkan pendidikan.
Mengenai aku yang,
ketika dilanda tugas banyak, sering marah-marah dirumah, sampai-sampai Ayah,
mama dan adikku tidak mau menggangguku ketika aku sedang serius mengerjakan
tugas. Ayah lah yang selalu palingkurepotkan, mengantarkanku kesana-kemari
membeli apapun yang kubutuhkan, sekalipun tengah malam. Dari sana Ayah selalu
berpesan “pandailah mengatur waktu, jangan pernah mau diperbudak waktu”. Entah
sudah kali keberapa ayah selalu mengatakan pesan tersebut padaku hingga kini.
Ayah, sosok yang
juga membuatku senang ketika tersenyum. Bahagia, melihat Ayah tersenyum, kala
aku lulus dan masuk perguruan tinggi, kala aku mememangkan sebuah perlombaan,
kala aku membuat hal-hal yang ceroboh. Ayah, maafkan anakmu, yang sering
membuat mu lelah, sering menangis cengeng didepanmu, sering merepotkanmu,
sering membuatmu merasa kecewa. Ayah, aku tak bisa membalasmu, hal yang kutahu.
Aku hanya ingin membuatmu tersenyum dengan segudang prestasiku. Meskipun,
entahlah, prestasi apa yang kudapat sampai saat ini. Namun, ayah, aku akan
tetap terus berusaha mencari senyummu.
Terlalu banyak cerita
yang akan tertuang mengenai Ayah. Namun, satu yang pasti, Ayah akan otomatis
tersenyum melihat anak-anaknya tersenyum. So,
buang wajah cemberut mu dihadapan Ayah dan Ibu mu!
Jangan lupa tersenyum ^^
30 September 2016.
21.20 WIB.
#EdisiKangenRumah
Comments
Post a Comment