Fiqih Muslimah #2 : Bab 1-2

 

┏━━━━━━━━━━━━━━━━━┓
    🎀     𝐊𝐀𝐉𝐈𝐀𝐍  𝐅𝐈𝐐𝐈𝐇
               𝐌𝐔𝐒𝐋𝐈𝐌𝐀𝐇      🎀
┗━━━━━━━━━━━━━━━━━┛

📚 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐢𝐭𝐚𝐛 :

𝐀𝐋-𝐅𝐈𝐐𝐇𝐔 𝐀𝐋-𝐌𝐔𝐘𝐀𝐒𝐒𝐀𝐑

(𝐅𝐈𝐊𝐈𝐇 𝐏𝐑𝐀𝐊𝐓𝐈𝐒)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله
وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:

akhawaati fillaah, semoga rahmat Allaah dicurahkan untukku, dan
untuk kalian semua.

alhamdulillaah 'alakulli khaal..
mari kita lanjutkan kajian fiqih muslimah seputar Haidh & Nifas. yang in syaa Allaah akan membahas: " Bab 1 & Bab 2 "

selamat mengikuti, mohon dibaca berulang kali, atau dicatat kembali, dalam buku catatan khusus
Pelajaran Fiqih.

jika kita sungguh-sungguh Belajar meskipun Lewat Whatsapp Group, maka akan Bertambah Ilmu Kita, dan akan benar Ibadah Kita, Aamiin.

▬▬▬▬▬🌹🍃🌹▬▬▬▬▬

          📖 𝐁𝐀𝐁 𝐏𝐄𝐑𝐓𝐀𝐌𝐀 📖

𝐏𝐄𝐑𝐌𝐔𝐋𝐀𝐀𝐍 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔 𝐇𝐀𝐈𝐃𝐇
𝐃𝐀𝐍 𝐁𝐄𝐑𝐀𝐊𝐇𝐈𝐑𝐍𝐘𝐀

tidak ada haidh terjadi sebelum genap usia sembilan tahun, sebab tidak ada riwayat shahih tentang terjadinya seorang wanita haidh sebelum berusia sembilan tahun.

🔖 Diriwayatkan dari Aisyah
رضي الله عنها berkata

إذا بلغت الجارية تسع سنين فهي امرأة.

"Apabila anak wanita telah berumur sembilan tahun, maka dia (telah menjadi) seorang wanita (dewasa)."
(Disebutkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi tanpa sanad)

dan TIDAK ADA haidh setelah usia lima puluh tahun pada umumnya menurut pendapat yang shahih.

🔖 Diriwayatkan dari Aisyah
رضي الله عنها bahwa dia berkata

إذا بلغت المرأة خمسين سنة خرجت
من حد الحيض.

"Apabila seorang wanita telah mencapai usia lima puluh tahun, maka dia telah keluar dari batas haidh." (Al-Mughni: 1/406)

         📖 𝐁𝐀𝐁 𝐊𝐄𝐃𝐔𝐀 📖

𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒 𝐌𝐈𝐍𝐈𝐌𝐀𝐋 𝐃𝐀𝐍
𝐌𝐀𝐊𝐒𝐈𝐌𝐀𝐋 𝐇𝐀𝐈𝐃𝐇

menurut pendapat yang shahih, TIDAK ADA BATAS miminal, dan maksimal haidh.

dan hal ini dikembalikan pada
▪adat, kebiasaan, dan rutinitas haidh seseorang.

                      بارك الله فيكن..

Haidh secara bahasa berarti sesuatu yang mengalir dan memancar.

Secara istilah syari, haidh adalah:

دَمٌ طَبِيْعَةٌ يَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ الرَّحِمِ يَعْتَادُ الأُنْثَى إِذَا بَلَغَتْ فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَةٍ

“Darah tabiat yang keluar dari bagian dalam rahim, menjadi kebiasaan wanita ketika sudah baligh pada waktu tertentu.” (Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:111)

Beberapa poin, dari
definisi darah haidh

Darah tabiat berarti darah haidh merupakan fitrah wanita. Ini bukan darah fasad (rusak) yang keluar karena sakit, luka, atau semacamnya. Darah ini adalah darah yang Allah jadikan ketetapan pada para wanita. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Aisyah ketika ia mengalami haidh saat berhaji,

هَذَا شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ

“Ini adalah sesuatu yang Allah tetapkan bagi para wanita.” (HR. Bukhari, no. 305 dan Muslim, no. 1211)

Karena haidh adalah darah tabiat, sesuai fitrah masing-masing, para wanita pun berbeda-beda keadaan haidhnya. Darah haidh itu darah tabiat, sedangkan darah istihadhah bukan darah tabiat. Darah istihadhah adalah darah fasad (rusak). Darah istihadhah keluar dari urat yang terputus lalu darah mengalir. Kita dapat katakan bahwa darah istihadhah adalah darah penyakit. Darah haidh itu keluar dari bagian dalam rahim, berarti sumber darah haidh adalah dari rahim. Sedangkan darah istihadhah itu keluar dari “adna” (yang terdekat, lebih rendah dari) rahim. Darah istihadhah bisa juga disebut keluar dari kemaluan, di bawah rahim. Haidh merupakan tanda baligh. Haidh itu diketahui kebiasaannya oleh setiap wanita. Haidh terjadi sebulan sekali, bisa jadi pada awal, pertengahan, atau akhir bulan sesuai kebiasaan setiap wanita. Haidh bisa jadi keluar lebih awal, bisa pula telat. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:111.

Hikmah adanya darah haidh
Allah menjadikan darah haidh pada wanita sebagai darah yang berbeda. Fungsi darah haidh adalah sebagai asupan makanan untuk bayi pada perut ibunya yang akan mengalir ke tubuh lewat tali pusar. Ketika melahirkan, asupan makanan berubah menjadi susu. Oleh karena itu, sedikit sekali wanita yang hamil itu mengalami haidh. Sedikit pula wanita yang menyusui mengalami haidh. Ketika wanita tidak dalam keadaan hamil atau menyusui, darah tadi tidak keluar dan tetap pada tempatnya. Darah itu akhirnya akan keluar pada waktu tertentu. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:112.

Masalah haidh adalah masalah paling rumit Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan rahimahullah berkata, “Masalah haidh adalah masalah paling rumit dalam bab fikih. Permasalah yang ada masih banyak yang samar. Hukum terkait haidh sendiri sebenarnya sudah jelas. Ada perkara terkait haidh yang sudah disepakati. Yang jadi masalah adalah ketika darah yang keluar bukan darah haidh, lalu seorang mufti menjadi sulit dalam menentukan hukumnya. Haidh juga bisa jadi datangnya lebih awal, bisa jadi datangnya telat. Lamanya darah haidh juga bisa jadi bertambah lama, bisa jadi berkurang dari waktu kebiasaan. Permasalahan zaman ini lebih rumit karena banyak wanita yang memakai obat pencegah hamil dan penunda haidh. Inilah yang membuat mufti sulit dalam menentukan hukum terkait haidh. Wallahul musta’an.” (Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:112)

Kaidah dalam memahami haidh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin,

وَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ

إِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة

Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya.

Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah.

Hukum asal darah
Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh. Darah bisa dianggap darah selain haidh jika ada bukti yang menunjukkan keluarnya darah tersebut dari hukum asal.

Ciri-ciri darah haidh adalah pekat (bukan encer), baunya tidak enak, dan bukan darah yang beku.

Umur, kadar lamanya, dan pengulangan keluarnya haidh
Berdasarkan keterangan dari Syaikh As-Sa’di berarti tidak ada batasan umur untuk waktu keluarnya haidh. Inilah pendapat Imam Ad-Darimi dari ulama Syafi’iyah, juga dipillih oleh Ibnu Taimiyyah, dan menjadi pendapat ulama belakangan seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Juga untuk berapa lama haidh itu keluar tidak ada batasannya. Inilah pendapat dalam madzhab Malikiyah, pendapat sebagian salaf, pendapat Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Ibnu Baz, Al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin.

Begitu juga tidak wajib melakukan hitungan berapa bulan pengulangan untuk menghukumi itu haidh.

Kapan dihukumi darah istihadhah?
Bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Ini adalah hukum pengecualian dari kaidah asal di atas.

Kapan dihukumi sudah punya kebiasaan haidh?

Haidh dihukumi sudah jadi kebiasaan jika sudah berulang sebanyak tiga kali. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali, dipilih pula oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Siapa yang sudah punya kebiasaan haidh, lantas darah bertambah atau berkurang, atau haidh datang lebih cepat atau datang telat, maka dihukumi haidh. Jika darah tersebut berhenti, maka dihukumi sudah suci. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i, dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.

Hukum darah istihadhah bagi yang tidak punya kebiasaan
Hadits ke-138

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي, وَصَلِّي” – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِم ٍ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Fatimah binti Abi Hubaisy sedang istihadhah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam yang memiliki bau yang khas. Jika memang darah itu yang keluar, hendaklah tidak mengerjakan shalat. Namun, jika darah yang lain, berwudhulah dan shalatlah.’” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Abu Hatim mengingkari hadits ini). [HR. Abu Daud, no. 286, 304; An-Nasai, 1:185; Ibnu Hibban, no. 1348; Al-Hakim, 1:174. Hadits ini disahihkan oleh sekelompok ulama yaitu Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Hazm, dan Imam Nawawi. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hanya sampai derajat hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:113-115].

Keterangan hadits
Fatimah binti Abi Hubaisy sedang keluar darah yang banyak. Istihadhah adalah keluarnya darah terus menerus setiap waktu atau pada mayoritas waktu. Darah istihadhah bisa jadi keluar dari rahim, ‘adna’ rahim (bawah rahim), atau keluar dari kemaluan. Para dokter menyatakan bahwa istihadhah itu keluar karena beberapa sebab: Bengkaknya rahim. Luka pada leher rahim.Bengkak pada leher rahim. Pembengkakan atau adanya sesuatu pada kemaluan. Haidh itu warnanya hitam dan memiliki bau yang khas, itulah yang dimaksud dengan frasa “aswad yu’rof”. Yu’rof (bisa juga dibaca yu’rif) artinya memiliki ‘arfun, yaitu bau yang khas. Jika yang keluar adalah darah haidh, tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar selain darah haidh (darahnya berwarna kuning, warna blonde atau merah kekuning-kuningan, atau warna keruh, berarti darah istihadhah), hendaklah berwudhu dan mengerjakan shalat.

Darah istihadhah adalah darah ‘irqun, yaitu urat yang luka dan darahnya mengalir. Darah istihadhah bukanlah darah haidh. Ketika keluar darah istihadhah masih tetap shalat, puasa, dan melakukan ibadah lainnya sebagaimana orang yang suci.

Faedah hadits
Pertama:

Jika wanita mengalami istihadhah, bertambah banyak darahnya, ia melihat darah tersebut. Lalu jika ragu akan darah haidh, bisa dibedakan dengan melihat warna darah. Jika darah tersebut berwarna hitam, dihukumi haidh dan tidak diperkenankan untuk shalat. Jika selain darah itu, dihukumi sebagai istihadhah.

Kedua:

Sebagian ulama berkata bahwa hadits ini berlaku untuk wanita yang baru mengalami haidh dan belum punya kebiasaan haidh. Wanita semacam ini melihat pada perbedaan warna darah jika ingin membedakan istihadhah dan haidh.

Akan tetapi, jika sudah memiliki kebiasaan darah haidh, yang jadi patokan untuk memutuskan apakah mengalami haidh ataukah istihadhah dilihat dari kebiasaan wanita. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, pendapat Hanafiyah, dan salah satu pandangan dalam madzhab Syafii.

Ketiga:

Perbedaan darah haidh dan darah istihadhah:

Darah haidh berwarna hitam, darah istihadhah berwarna merah mengarah ke arah kuning. Darah haidh itu kental, sedangkan darah istihadhah itu encer.
Darah haidh itu baunya khas, sedangkan darah istihadhah tidak memiliki bau. Darah haidh tidak membeku, sedangkan darah istihadhah bisa membeku. Perbedaan darah haidh dan istihadhah
Yang diamati Haidh Istihadhah Warna Umumnya warna merah tua/ gelap Umumnya merah segar Konsistensi Keras dan kaku Lunak/ empuk, Bau Berbau kurang sedap Bau seperti darah yang keluar karena luka, Membeku Tidak membeku Cepat membeku seperti darah luka biasa, Kekentalan Kental Encer/ kurang kental.

Referensi: Hanbook Pubertas Muslimah, hlm. 52.

Kaidah dalam memahami
darah istihadhah

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab beliau Manhaj As-Salikin,

فَقَدْ أَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَجْلِسَ عَادَتَهَا ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا عَادَةٌ فَإِلَى تَمْيِيْزِهَا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَمْيِيْزٌ ، فَإِلَى عَادَةِ النِّسَاءِ الغَالِبَةِ ، سِتَّةِ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ ، وَاللهُ أَعْلَمُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk mengikuti kebiasaan haidh (sebagai patokan). Kalau tidak punya kebiasaan, maka melihat pada perbedaan warna darah (tamyiz). Jika tidak bisa membedakan, maka melihat pada kebiasaan wanita pada umumnya yaitu enam atau tujuh hari. Wallahu a’lam.

Dari penjelasan Syaikh As-Sa’di di atas, istihadhah ada tiga keadaan:

Keadaan pertama:

Yang sudah punya kebiasaan haidh sebelumnya (disebut al-mu’taadah), sudah diketahui kebiasaan kadar dan waktunya, kemudian mengalami istihadhah. Misalnya ada seorang wanita yang punya kebiasaan haidh pada awal bulan selama tujuh hari, kemudian mengalami istihadhah. Ia menyikapi, tujuh hari sebagai kebiasaan haidh. Pada awal bulan, ia meninggalkan shalat selama tujuh hari. Lalu hari kedelapan, ia mandi. Setelah itu ia melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh wanita yang suci seperti mengerjakan shalat atau berpuasa.

Dalil untuk keadaan pertama adalah hadits berikut,

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ : لاَ ، إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ، ثُمَّ اِغْتَسِلِي وَصَلِّي.

“Fathimah binti Abi Hubaisy pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Aku pernah istihadhah dan belum suci. Apakah aku mesti meninggalkan shalat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun, tinggalkanlah shalat sebanyak hari yang biasanya engkau haidh sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukanlah shalat.’” (HR. Bukhari, no. 325)

Dari hadits di atas disimpulkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyarankan untuk memperhatikan pada kebiasaan (‘adat), bukan memperhatikan pada perbedaan warna darah (tamyiz antara haidh dan istihadhah).

Keadaan kedua:

Bagi wanita yang tidak punya kebiasaan haidh, wanita semacam ini disebut al–mubtada’ah. Ini dialami oleh orang yang baru mengalami haidh atau dialami oleh wanita yang sudah punya kebiasaan, tetapi ia lupa kapan waktu dan lamanya. Yang dijadikan patokan adalah warna darah, disebut tamyiz (harus bisa membedakan mana darah haidh dan istihadhah).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fathimah binti Abu Hubaisy,

إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ

“Jika yang keluar adalah darah haidh yaitu berwarna hitam yang baunya khas, maka tinggalkanlah shalat. Akan tetapi, jika yang keluar bukan seperti itu, maka berwudhulah dan lakukanlah shalat karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, no. 286. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Keadaan ketiga:

Yang tidak punya kebiasaan (seperti pada yang baru mengalami haidh atau dalam keadaan lupa masa haidnya) dan tidak bisa membedakan darah haidh dan yang bukan, maka dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita yaitu enam atau tujuh hari.

Wanita mubtada’ah (yang belum punya kebiasaan) ada dua keadaan:
Keadaan pertama adalah bisa membedakan warna darah. Ketika didapati darah haidh, maka tidak shalat. Ketika darah tersebut berhenti, maka mandi lalu mengerjakan shalat.
Keadaan kedua adalah tidak bisa membedakan warna darah, maka ia mengikuti kebiasaan umumnya wanita yaitu enam atau tujuh hari. Ketika sudah melewati masa tersebut, maka mandi lalu mengerjakan shalat. Ketika dapati darah, maka hari tersebut dihitung sebagai hari pertama keluarnya haidh.

Wanita mu’taadah (yang sudah punya kebiasaan) ada dua keadaan:

Keadaan pertama adalah masih mengingat kebiasaan haidh, maka tugasnya adalah mengamalkan sesuai kebiasaan. Di sini tidaklah memperhatikan perbedaan warna darah (tamyiz).

Keadaan kedua adalah lupa dengan kebiasaan haidh, maka ada dua hal lagi bisa diperhatikan: (a) jika bisa membedakan warna darah, maka itulah yang dipakai; (b) kalau tidak bisa membedakan warna darah, berarti melihat pada kebiasaan wanita umumnya.

Hukum mandi untuk wanita yang mengalami istihadhah
Hadits ke-139

وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ: – لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ, فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ اَلْمَاءِ, فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً, وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ –

Dalam hadits Asma’ binti ‘Umaisy yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan, “Hendaklah dia duduk dalam suatu bejana air. Jika dia melihat warna kuning di atas permukaan air (itu berarti darah istihadhah, pen.), hendaknya ia mandi sekali untuk Zhuhur dan Ashar, mandi sekali untuk Maghrib dan Isya, dan mandi untuk Shubuh, dan berwudhu antara waktu-waktu tersebut.”
[HR. Abu Daud, no. 296. Hadits ini mengalamai kritikan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:120-121].

Faedah hadits:

Hadits ini jadi dalil bahwa wanita istihadhah diperintahkan untuk sekali mandi untuk dua waktu shalat (Zhuhur dan Ashar, lalu Maghrib dan Isya), juga untuk shalat Shubuh sekali mandi. Kemudian shalat Zhuhur dikerjakan pada akhir waktu, lalu shalat Ashar dikerjakan pada awal waktu (dikenal dengan jamak suri). Hal ini sama juga diterapkan untuk shalat Maghrib dan Isya. Pendapat ini dianut oleh sekelompok sahabat dan tabiin. Namun, yang paling tepat adalah mandi dilakukan ketika telah selesai haidh saja dengan
sekali mandi.

                      بارك الله فيكن..

Comments

Popular Posts