Sahabat Bertanya : RIBA

 

Sahabat Bertanya, Ustadzah Menjawab


Bersama ustadzah Meri dan ustadzah Imanda

Tema : Riba

Pertanyaan 1️⃣

1) Saya masih ada cicilan rumah 3.5 tahun lagi. Waktu dulu awal ambil rumah pakai bank BNI dengan tempo 15 tahun. Setelah jalan hampir 7 tahun saya datang ke BNI mau pelunasan bertahap tenyata hutang saya yang saya cicil sudah 7 tahun baru berkurang sedikit. Jadi cicilan saya alihkan ke bank niaga syariah. Itu bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Cicilan KPR  tidak hanya bermasalah dari sisi ribanya, tapi juga bermasalah dari sisi akadnya. Di mana akad yang digunakan adalah akad leasing, dalam akad tersebut terdapat multi akad yaitu penggabungan 2 akad : sewa dan beli dan multi akad ini termasuk akad yang haram.

2) Suami saya melakukan kredit motor di FIF tanpa persetujuan kita padahal suami sudah janji untuk tidak hutang riba lagi. Bagaimana menyikapi itu ya ustadzah? Karena saya suka merasa tidak sejalan dengan suami mengenai hutang. Suami suka melakukan hutang yang tidak izin saya. Contoh pinjol dan akhirnya saya yanng bantu menyelesaikannya. Mohon petunjuknya ustadzah.

Jawaban:

Akad riba yang dilakukan suami ditanggung oleh suami dari sisi hisabnya. Adapun istri wajib untuk mengingatkan suami agar tidak melakukan hal yang diharamkan syariat. Jika usaha itu telah dilakukan, kita hanya bisa berharap kepada Allah yang Maha Memberi Petunjuk. Adapun ikut membantu pelunasan riba yang dilakukan suami, bukan hal dianjurkan. Karena akan menjadi tolong menolong dalam berbuat dosa. Kecuali membantu pelunasan tersebut dalam rangka membantu taubat suami yang tidak akan mengulangi di waktu yang akan datang
Wallaahu a'lam.

Pertanyaan 2⃣

1. Apakah beli barang secara kredit termasuk riba?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Jazakillah atas Pertanyaan Puan Fulanah Semoga Puan dan Keluarga Sahabat semua dilindungi Allah SWT Aamin

Jual beli kredit dalam fiqih dikenal dengan istilah al-bai` bi ad-dain atau al-bai` bi at-taqsith, atau al-bai' li-ajal. Semuanya berarti jual beli dengan penyerahan barang pada saat akad, tapi pembayarannya dilakukan secara tertunda. Pembayaran tertunda ini dapat dilakukan sekaligus pada satu waktu, atau dicicil (diangsur) dalam beberapa kali cicilan (tidak dibayar sekaligus dalam satu waktu). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu'amalah Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, hlm. 311; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wal Mu'ashirah, hlm. 84).

Dalam jual beli kredit umumnya penjual menetapkan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan (cash). Misalnya, penjual menetapkan harga sebuah sepeda motor seharga Rp 10 juta jika dibayar kontan, dan Rp 12 juta jika dibayar kredit dalam jangka waktu tertentu.

Jumhur fuqaha seperti ulama mazhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah) membolehkan jual beli kredit, meski penjual menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan. Inilah pendapat yang kuat (rajih). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu'amalah Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, hal. 316, Asy-Syaukani, Nailul Authar, 8/199; Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/307).

Dalil kebolehannya adalah keumuman dalil-dalil yang telah membolehkan jual beli, misalnya firman Allah SWT :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah [2] : 275)

Juga berdasar sabda Nabi SAW :

إِنَّماَ الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

"Sesungguhnya jual beli itu adalah atas dasar saling ridha." (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Kata "al-bai’” (jual beli) dalam hadits ini bersifat umum, mencakup jual beli kredit. Diriwayatkan bahwa Thawus, Al-Hakam, dan Hammad berkata bahwa tidaklah mengapa kalau penjual berkata kepada pembeli, 'Aku jual kontan kepadamu dengan harga sekian, dan aku jual kredit kepadamu dengan harga sekian,' lalu pembeli membeli dengan salah satu dari dua harga itu. (Hisyam Barghasy, Hukum Jual Beli Secara Kredit (terj.), hal. 75).
.
2. Apakah arisan atau menabung jika menerimanya dipotong (untuk ngasih orang yang mencatat tapi sudah atas kesepakatan bersama apakah ini juga termasuk riba?

Jawaban:

Arisan adalah kegiatan sekelompok orang untuk mengumpulkan uang atau barang yang nilainya sama secara teratur dalam periode tertentu, kemudian dilakukan undian untuk menentukan siapa yang memperoleh kumpulan uang atau barang tersebut. Kegiatan pengumpulan uang atau barang dan undian ini dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota kelompok memperoleh arisan.

Dalam bahasa Arab, arisan disebut “jam’iyyah al muwazhzhafiin” seperti judul kitab tentang hukum arisan dalam fiqih Islam, yaitu Jam’iyyah Al Muwazhzhafin wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami yang ditulis Syeikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin. (http://www.mktaba.org). Istilah lain arisan dalam bahasa Arab adalah “al quruudh at ta’aawuniyyah” yang secara harfiyah berarti “pinjaman kerjasama/tolong menolong”. (Ra`id Ahmad Khalil Salim, Ahkam At Tasharruf fi Al Qardh fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 104).

Menurut Syeikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, hukum syara’ yang dapat diterapkan untuk arisan adalah hukum qardh (pinjaman). Misal 3 (tiga) orang bernama A, B, dan C mengadakan arisan mingguan, masing-masing membayar 100 ribu. Pada minggu pertama, misal keluar nama A dengan mendapat uang arisan 300 ribu. Berarti A meminjam uang B dan C. Minggu kedua, dilakukan pengumpulan uang dan undian yang sama dan misal keluar nama B sebagai pemenang arisan. Berarti pada minggu kedua ini B meminjam uang A dan C, sedangkan A mengembalikan pinjamannya kepada B dan C. Pada minggu ketiga, dilakukan hal yang sama dan keluar nama C. Berarti pada minggu ketiga ini C yang selama ini memberikan pinjaman, mendapatkan pengembalian pinjamannya dari A dan B.

Terhadap fakta seperti itu, Syeikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin mengatakan bahwa hakikat arisan adalah masing-masing anggota memberikan pinjaman dan juga mendapat pinjaman. Kecuali pemenang arisan pertama, yang hanya menjadi penerima pinjaman (muqtaridh) saja, dan pemenang arisan terakhir, yang menjadi pemberi pinjaman (muqridh) bagi semua pemenang arisan sebelum dia.

Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum arisan. Sebagian ulama seperti Syeikh Shalih Al Fauzan mengharamkan, namun sebagian ulama lain seperti Syeikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin dan Syeikh Abdul Aziz bin Baz membolehkannya. (Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, Jam’iyyah Al Muwazhzhafin wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami).

Pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat yang membolehkan arisan, berdasarkan bolehnya akad qardh (pinjaman) dalam syariah Islam, baik sebagai pemberi pinjaman (muqridh) maupun sebagai penerima pinjaman (muqtaridh). Jadi, selama arisan tidak melanggar hukum-hukum syariah tentang qardh, maka arisan itu hukumnya boleh. Sebaliknya jika melanggar hukum qardh, arisan hukumnya haram.

Maka puan Haram terjadi pemotongan uang arisan yang diperoleh dengan alasan untuk biaya administrasi atau uang konsumsi misalnya. Kedua hal ini tidak boleh, karena dalam hukum qardh jumlah uang yang dipinjamkan harus dikembalikan dalam jumlah yang sama, tidak boleh terjadi penambahan atau pengurangan. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 256). Solusinya dibuat terpisah dana untuk administrasi atau uang konsumsi
Wallahu a’lam

Pertanyaan 3️⃣

Maaf ustazah, saya mau tanya tentang riba. Begini ustazah, di desa kami ada organisasi atau perkumpulan ibu-ibu PKK. Di PKK tersebut ada program tabungan dan boleh dipinjam setiap pinjam  300 ribu dipotong 15 ribu dengan kesepakatan atau akadnya di depan. Itu termasuk riba atau bagaimana ustazah? Terimakasih 🙏🙏

Jawaban
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Jazakillah atas Pertanyaan Puan.Semoga Puan dan Keluarga Sahabat semua dilindungi Allah SWT Aamin

Puan shalihah, Biaya potongan 15 ribu  (biaya admin) tersebut sesungguhnya adalah riba, meskipun tidak dinamakan bunga. Hal ini karena riba dalam akad qardh (pinjaman) itu bisa bermacam-macam bentuk dan namanya. Bisa jadi riba dalam akad qardh (pinjaman) itu nama teknisnya adalah “bunga” (interest) dalam kasus kredit di perbankan. Atau mungkin riba itu diberi nama “denda” (fine) dalam kasus keterlambatan pembayaran angsuran kredit di bank, atau diberi nama “penalti” dalam kasus pelunasan kredit sebelum tenor berakhir di bank atau leasing.

Kadang riba juga dinamakan “annual fee” atau iuran tahunan dalam kasus kartu kredit, dan sebagainya. Intinya adalah, jika dalam akad qardh (pinjaman) itu ada tambahan yang telah dipersyaratkan dalam perjanjian di awal, maka tambahan itu adalah riba yang haram hukumnya. Jadi, kata kunci yang menandakan eksistensi riba dalam akad pinjaman (qardh), adalah adanya tambahan yang telah dipersyaratkan (ziyādah masyrūthah). (Prof. ‘Ali Ahmad As-Sālūs, Mausū’ah Al-Qadhāyā Al-Fiqhiyyah Al-Mu’āshirah wa Al-Iqtishād Al-Islāmi, hlm. 82).

Maka dari itu, biaya admin yang ditanyakan di atas, jelas merupakan riba, karena biaya admin tersebut faktanya adalah tambahan yang telah dipersyaratkan (ziyādah masyrūthah) di awal saat terjadinya transaksi dalam akad qardh (pinjaman). Padahal para ulama telah sepakat tanpa khilāfiyah, bahwa jika dalam akad qardh (pinjaman) disyaratkan adanya suatu tambahan (ziyādah), maka tambahan itu adalah riba.

Berikut ini sebagian kutipan pendapat ulama-ulama tersebut :

Pertama, kutipan dari Imam Ibnul Mundzir (w. 318 H/930 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعُوْا عَلىَ أّنَّ الْمُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَلىَ الْمُسْتَلِفِ زِياَدَةً أَوْ هَدِيَةً فَأَسْلَفَ عَلىَ ذَلِكَ، أَنَّ أَخْذَهُ الزِّياَدَةَ عَلىَ ذَلِكَ رِباً

Imam Ibnul Mundzir  berkata, ”Mereka (para ulama) sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan kepada peminjam suatu tambahan atau hadiah, lalu dia memberikan pinjaman atas dasar syarat itu, maka pengambilan tambahan atas pinjaman itu adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al-Ijmā’, hlm. 136).

Kedua, kutipan dari Imam Al-Jashshāsh (w. 370 H/981 M).

قَالَ اْلإِماَمُ اَلْجَصَّاصُ: وَلاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لَوْ كاَنَ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ حاَلَةً، فَقاَلَ: أَجِّلْنِيْ أَزِيْدُكَ فِيْهاَ مِائَةَ دِرْهَمٍ، لاَ يَجُوْزَ...

Imam Al-Jashshash berkata,”Tidak ada perbedaan pendapat bahwa kalau seseorang punya kewajiban membayar 1000 dirham secara kontan, lalu dia berkata,’Berilah aku tangguh dan aku akan memberi tambahan kepadamu 100 dirham,’ maka itu tidak boleh...” (Al-Jashshāsh, Ahkāmul Qur`ān, Juz I, hlm. 467).

Ketiga, kutipan dari Imam Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M).

  قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: أَجْمَعَ الْعُلَماَءُ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلىَ أَنَّ الرِّباَ الَّذِيْ نَزَلَ باِلْقُرْآنِ  تَحْرِيْمُهُ هُوَ: أَنْ يَأْخُذَ الدَّائِنُ لِتَأْخِيْرِ دَيْنِهِ بَعْدَ حُلُوْلِهِ عِوَضاً عَيْنِيّاً أَوْ عَرَضاً...

Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata, ”Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam Al Qur`an adalah, seorang pemberi utang mengambil kompensasi berupa uang atau barang karena penundaan pembayaran utangnya setelah jatuh tempo... (Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Kāfī, Juz II, hlm. 633).

Dalam kitab yang sama, Imam Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M) juga berkata :

وَكُلُّ زِياَدَةٍ فِيْ سَلَفٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ يَنْتَفِعُ بِهاَ الْمُسْلِفُ فَهِيَ رِباً وَلَوْ كاَنَتْ قَبْضَةً مِنْ عَلَفٍ، وَذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كاَنَ بِشَرْطٍ

”Setiap tambahan dalam akad pinjaman (salaf/qardh) atau setiap manfaat yang dinikmati oleh pemberi pinjaman (qardh), maka ia adalah riba, meskipun itu hanya segenggam pakan ternak. Itu haram jika disyaratkan.” (Ibnu Abdil Barr, Al-Kāfī, Juz II, hlm. 359).

Keempat, kutipan dari Imam Ibnu Qudamah (w. 629 H/1223 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ : وَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلىَ أَنَّ الْمُقْتَرِضَ إِذَا اشْتَرَطَ زِياَدَةً عَلىَ قَرْضِهِ كَانَ ذَلِكَ حَرَاماً

Imam Ibnu Taimiyyah berkata,”Para ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh), maka tambahan itu hukumnya haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmū’ul Fatāwā, Juz XXIX, hlm. 334).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ قُدَامَةَ كُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيْهِ أَنْ يَزِيْدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلاَفٍ

Imam Ibnu Qudamah berkata,”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan (ziyādah) padanya, maka tambahan itu haram tanpa perbedaan pendapat (di kalangan ‘ulama).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz IV, hlm. 360).

Kelima, kutipan dari Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ : وَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلىَ أَنَّ الْمُقْتَرِضَ إِذَا اشْتَرَطَ زِياَدَةً عَلىَ قَرْضِهِ كَانَ ذَلِكَ حَرَاماً

Imam Ibnu Taimiyyah berkata,”Para ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh), maka tambahan itu hukumnya haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmū’ul Fatāwā, Juz XXIX, hlm. 334).

Dari berbagai kutipan pendapat para ulama di atas, jelaslah bahwa tambahan yang disyaratkan (ziyādah masyrūthah) di awal saat terjadinya akad qardh (pinjaman), adalah riba yang hukumnya haram dalam Islam. Para ulama tersebut berdalil dengan beberapa hadits yang menunjukkan haramnya hadiah atau manfaat yang muncul dari akad qardh (pinjaman), di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW :

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh) maka janganlah dia mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrā, V/530).

Para ulama itu juga berdalil dengan sabda Rasulullah SAW :

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa apa yang ditanyakan di atas, yaitu adanya biaya admin sebesar Rp15.000,00 (lima puluh ribu rupiah) pada akad pinjaman (qardh) dari bank atau koperasi kepada seorang peminjam (mustaqridh, debitur), adalah riba yang hukumnya haram, walaupun disebut biaya admin dan tidak disebut “bunga”.

Kami tegaskan pula, bahwa setiap tambahan yang disyaratkan (ziyādah masyrūthah) pada akad qardh (pinjaman), walau pun namanya bermacam-macam, hakikatnya adalah riba, baik itu dinamakan bunga, maupun diberi nama lain, semisal hadiah, bonus, denda, penalti, biaya admin, annual fee, atau pun istilah-istilah lainnya. Semuanya adalah riba, jika pada saat terjadinya akad qardh (pinjaman), adanya tambahan itu dipersyaratkan atau diperjanjikan di awal.

Adapun jika adanya tambahan atau hadiah itu tidak dipersyaratkan di awal pada saat akad qardh (pinjaman), maka di sini ada perbedaan pendapat (ikhtilāf) di kalangan ulama. Sebagian ulama menganggap tambahan itu hukumnya boleh, asalkan pemberian tambahan itu atas inisiatif sendiri dari pihak yang meminjam. Namun sebagian ulama lain tetap tidak memperbolehkan adanya tambahan tersebut. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, jika tambahan itu diberikan sebagai hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya dirinci. Jika peminjam sudah biasa memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya boleh. Tapi jika tidak biasa, hukumnya haram. Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini, sejalan dengan pendapat Imam Syaukani dalam kitabnya Naylul Awthār. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 340-342; Imam Syaukani, Naylul Awthār, Juz V, hlm. 275).

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam itu memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432). Wallāhu a’lam.


Pertanyaan 4️⃣

Saya single mom with 4 kids. Saya punya KPR tersisa 2 tahun lagi. KPR-nya via BTN syariah. Dulu saya ambil KPR itu karena ikhtiar agar rumah tangga saya bisa selamat. Tapi ternyata saya salah. Saya sejak 2021 lg jual aset yang lain untuk melunasi KPR ini tp qodarullah belum laku juga aset tersebut.
Saat ini alhamdulillaah Allah masih kasih rezeki untuk bayar tiap bulannya.
1. Ada yang bilang Bank Syariah juga riba, apakah betul dan
2. Bila iya bagaimana solusinya ya? Apakah saya mesti jual saja rumah tersebut?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Jazakillah atas Pertanyaan Puan.Semoga Puan dan Keluarga Sahabat semua dilindungi Allah SWT Aamin

Jawaban pertanyaan ke-4 bagian pertama

Puan semangat ummat untuk kembali kepada syariah patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Mulai dari behijab syar’i hingga kredit rumah syar’i.

Namun, Puan perlu berhati-hati.  Mari kita pelajari bersama fakta dan konsekuensi yang harus dipahami dari KPR di Bank Syariah, karena beberapa akad transaksi property yang digunakan di Perbankan Syariah sekarang, faktanya belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syar’i.

Upaya menghindari jeratan riba saat ini kian populer di kalangan masyarakat Muslim. Juga tak sedikit masyarakat non-Muslim yang ikut bersimpati dengan budaya dan cara hidup Syar’i. Termasuk trend membeli rumah Syariah.

Pertama adalah KPR Syariah yang transaksinya hanya melibatkan Dua Pihak saja, yaitu pembeli dengan developer.

Kedua adalah KPR Bank Syariah, dimana transaksinya melibatkan Tiga Pihak, yaitu pembeli, developer, dan Bank Syariah sebagai pihak ketiga.

Ketika kita mengajukan KPR Bank Syariah, maka ada beberapa akad yang akan digunakan, yaitu:

KPR Syariah Jual Beli (Murobahah).

KPR Syariah Kepemilikan Bertahap (Musyarakah Mutanaqishah).

KPR Syariah Sewa Beli (IMBT / Ijarah Muntahiyah bit Tamlik)

Dari akad-akad tersebut, kita akan dapati beberapa hal yang perlu diperjelas hukumnya di KPR Bank Syariah ini dari sudut pandang hukum Islam yang sempurna. Persoalan yang perlu dikritisi antara lain:

#1 Akad Sewa Beli atau Murobahah dalam KPR Bank Syariah

Murobahah adalah jual beli rumah antara bank syariah dengan nasabah dengan harga dan marjin profit yang telah disepakati. Saat dilakukan traksaksi, terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu:
- Nasabah,
- Bank syariah,
- Developer.

Ada beberapa tahapan saat akan mengajukan KPR Bank Syariah. Pertama, nasabah mengajukan permohonan atau permintaan kepada Bank untuk dibelikan rumah. Kedua, Bank membeli rumah dari pihak developer secara kontan.

Selanjutnya, bank menjualkan kembali rumah tersebut kepada nasabah secara kredit. Pada tahap ini terdapat marjin profit atau tambahan keuntungan yang disepakati bersama dan juga dibayarkan secara kredit. Misalnya, Bank membeli rumah kepada developer seharga 100 juta, kemudian dijual kembali kepada nasabah misalnya sebesar 150 juta dibayar 2 tahun.

LARANGAN AKAD KPR SEWA BELI

Ketika akad murobahah, bank belum memiliki rumahnya. Sehingga bank menjual barang yang tidak dimilikinya. Berdasarkan mekanismenya, akad dilakukan pada tahap pertama, padahal rumahnya belum ada. Rumah baru dibangun saat tahap kedua. Mungkin banyak yang menganggap bahwa akad yang dilakukan pada tahap ketiga, padahal kenyataan dilakukan saat tahap pertama.

Disadari atau tidak oleh pembeli. KPR di Bank Syariah terjadi penggabungan dua akad dalam satu transaksi jual beli, yang itu dilarang dalam syariah Islam.

Akad murobahah di Bank Syariah ini sebenarnya tidak menggunakan akad tunggal, tetapi akad ganda. Pertama bank membeli rumah dari developer (akad pertama), setelah itu, bank menjual lagi kepada nasabah (akad yang kedua). Nah, kedua akad ini diikat menjadi satu kesatuaan. Sehingga, secara umum murobahah ini bisa dianggap “bermasalah”. Murobahah yang diamalkan di bank-bank syariah sekarang bukan murobahah klasik yang sudah dibahas dan dipraktikan para ulama, tapi termasuk murobahah kontemporer yang sama sekali baru.

Istilah Murobahah memang telah disebutkan pada kitab fiqih lama, namun manathnya (sebab, alasan) memiliki perbedaan dengan muamalah yang diterapkan oleh bank syariah sekarang. Suatu kekeliruan, jika kita menganggap murobahah yang diamalkan di perbankan syariah yang ada saat ini dengan murobahah yang dijelaskan oleh para ulama terdahulu adalah hal yang sama.

#2 KPR Bank Syariah Kepemilikan Bertahap (Musyarakah Mutanaqishah)

Musyarakah Mutanaqishah didefinisikan sebagai akad jual beli dimana bank dan nasabah berkontribusi/ kongsi modal dengan prosentase tertentu dan nasabah kemudian membeli “saham/ bagian” milik bank secara bertahap sehingga kepemilikan berada sepenuhnya di tangan nasabah.

Misalnya ketika seseorang akan membeli rumah seharga 100 juta, namun ia hanya memiliki uang 50 juta. Maka orang ini mengajukan permohonan atau permintaan kepada bank untuk menutupi kekurangan yang 50 juta ini. Sehingga terkumpulah 100 juta dari hasil iuran. Lalu dibelikanlah rumah seharga 100 juta.

Kepemilikan rumah ini sebenarnya kepemilikan bersama, namun nasabah tersebut kemudian membeli porsi kepemilikan bank syariah secara bertahap. Misalnya pada cicilan pertama sejumlah 10 juta, sehingga terjadi perubahan persentase kepemilikan yang semula 50% menjadi 60%. Dan begitu seterusnya hingga status kepemilikannya berubah menjadi 100% milik nasabah.

Sebenarnya Musyarakah Mutanaqishah tergolong “bermasalah”, hukumnya haram, dengan beberapa alasan. Pertama, pada prakteknya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Pada KPR Bank syariah, pihak bank tidak memberikan kontribusi atau iuran, tetapi memberikan pinjaman atau qardh. Bank hanya menambah dp yang sudah dibayar nasabah saja.

Alasan kedua, akad ini termasuk multi akad. Padahal multi akad hukumnya haram. Gabungan dari akad syirkah (amlaq/ kepemilikan) dengan jual beli. Jual belinya tidak sekali namun berkali kali, sampai kepemilikannya 100% milik nasabah. Bahkan ada akad ketiga yaitu bagi hasil.

#3 KPR Syariah Sewa Beli (IMBT / Ijarah Muntahiyah bit Tamlik)

KPR Syariah Sewa Beli adalah akad dimana bank syariah menyewakan rumah kepada nasabah dalam jangka waktu tertentu dan pada akhir jangka waktu tersebut bank menjual rumah itu kepada nasabah.

Kritik terhadap akad ini adalah adanya multi akad, yaitu akad sewa menyewa yang disandingkan dengan akad jual beli.

Kesimpulannya, ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi dari KPR Bank Syariah. Dikarenakan dari tiga akad yang digunakannya masih bermasalah, yaitu Murobahah, Musyarakah Mutanaqishah,dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. Solusinya segera lunasi pokok hutang kpr saja, Puan lobi sehingga tidak perlu bayar riba/bunga, bisa dengan jual aset Puan, atau pinjam dana ke keluarga tanpa riba

Jawaban pertanyaan ke-4 bagian kedua

Bank syariah masih terdapat penyimpangan-penyimpangan syariah (al-mukhalafat al-syariyyah) dalam berbagai akadnya, baik akad yang sifatnya funding untuk pengumpulan dana dari masyarakat, maupun akad yang sifatnya lending untuk penyaluran dana kepada masyarakat.

Akad-akad yang bermasalah secara syariah di bank syariah, menurut studi yang sudah kami lakukan, antara lain :
1. Tabungan dengan akad Mudharabah.
2. Tabungan dengan akad Wadiah.
3. Pembiayaan dengan akad Murabahah.
4. Pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (IMBT).
5. Pembiayaan dengan akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ).

Penyimpangan-penyimpangan syariah untuk 5 (lima) akad tersebut jika Puan ingin lebih mendalam silahkan join kelas muslimpreneurship bisa minta penjelasan detail ke Ust Dwi Condro,PhD, atau bisa baca buku beliau rekonstruksi bank syariah & BMT.

Wallahu A'lam

Pertanyaan 5️⃣

Ustadzah, saya mau tanya tentang :
1. Kalau belanja pakai dana paylater yang pakai sekarang trus bayar nanti itu termasuk riba bb? Bagaimana jika paylater dibayar nanti diakhir bulan itu 0% bunganya apakah termasuk riba?
2. Jika terlambat bayar paylater ada denda itu termasuk riba kah, biasanya dendanya 5%?

Jawaban

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Jazakillah atas pertanyaannya. Semoga Puan dan keluarga sahabat semua dilindungi Allah Swt. Aamin

Shopee Pay Later merupakan salah satu metode pembayaran dalam transaksi  jual beli barang dan jasa dengan cara kredit (dengan pinjaman bunga ) dalam platform Shopee.

Fakta Shopee Pay Later

Dalam metode pembayaran dan tagihan di dalam Shopee Pay Later sama seperti metode pembayaran kartu kredit. Para pengguna yang ingin berbelanja dengan Shopee Pay Later, perlu melakukan serangkaian aktivasi pada aplikasi Shopee Pay Later terlebih dulu, dengan dua mekanisme pokok.

Mekanisme pertama, yakni pengguna perlu memenuhi beberapa syarat sebelum mengaktifkan Shopee Pay Later, yaitu telah memiliki akun Shopee yang memiliki syarat-syarat :

(1) Akun pengguna shopee terdaftar dan terverifikasi

(2) Akun Shopee berusia 3 bulan

(3) Akun Shopee sering digunakan dalam bertransaksi, dan pengguna update aplikasi Shopee terbaru.

Mekanisme kedua, setelah memenuhi syarat-syarat diatas,  pengguna baru bisa mengajukan aktivasi Shopee Pay Later. Dalam tahapan ini pengguna diminta untuk mengunggah foto KTP dan juga melakukan verifikasi wajah.

Pengajuan aktivasi Shopee Pay Later kemudian akan diperiksa oleh tim terkait dalam waktu 2×24 jam. Apabila pengajuan disetujui, calon pengguna Shopee Pay Later akan mendapat notifikasi bahwa pengajuan aktivasi Shopee Pay Later telah berhasil dan pengguna bisa menggunakan Shopee Pay Later untuk melakukan transaksi pembayaran barang/jasa.

Syarat dan ketentuan Sopee Pay Later sebagai berikut:

(1) Plafon limit pinjaman Rp 500 ribu s/d Rp 15 juta,

(2) Dapat memilih tenor cicilan : 1, 2, 3, 6 dan 12 bulan,

(3) Dapat memilih tanggal jatuh tempo tagihan, tanggal 5, 11 dan 25 setiap bulannya,

(4) Bunga sebesar 2,95% (mulai berlaku 28 April 2020)

(5) Biaya penanganan 1% per transaksi jika membayar dengan Shopee Pay Later,

(6) Biaya denda 5% dari total tagihan, apabila terjadi keterlambatan pembayaran,

(7) Pinjaman dari Shopee Pay Later tidak dapat dicairkan tapi hanya bisa digunakan untuk bertransaksi,

(8) Pengguna bisa menggunakan Shopee Pay Later untuk membeli beberapa produk digital, seperti pulsa telpon, pulsa listrik PLN, paket data, BPJS, tiket KA, Telkom, PDAM, tiket pesawat, TV kabel & internet, tiket bus, dan lain-lain.

3 keharaman  shopee paylater. Penjelasannya sebagai berikut ;

Pertama, terdapat unsur riba dalam bentuk bunga sebesar 2,95%. Karena setiap tambahan dari pinjaman yang disepakati di awal (saat akad), maka statusnya adalah riba yang hukumnya haram.

Dalam masalah ini, Imam Ibnu Qudamah berkata,”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu adalah riba tanpa perbedaan pendapat [di kalangan ulama].” (Ibnu Qudamah, Al Mughnî, Juz IV, hlm. 360).

Kedua, di dalam  Shopee Pay Later terdapat unsur riba dalam bentuk denda 5% dari total tagihan, akibat keterlambatan dalam pembayaran. Denda dalam hal ini adalah riba. Argumentasinya karena pada setiap tambahan dari pinjaman yang telah  disepakati di awal, dihukumi sebagai riba, baik tambahan berupa bunga maupun denda. (Abdullah Al Mushlih & Shalah Al Shawi, Mâ Lâ Yasa’u Al Tâjir Jahluhu, hlm. 338; Ali As Salus, Mausû’ah Al Qadhâyâ Al Fiqhiyyah Al Mu’âshirah wa Al Iqtishâdi Al Islâmî, hlm. 449).

Ketiga, terdapat kekeliruan cara penetapan biaya penanganan (admin) sebesar 1% per transaksi. Karena biaya penanganan ini seharusnya berupa nominal yang fix (misal Rp 10.000 per transaksi) bukan berupa persentase dari nilai transaksi. Karena penanganan ini akadnya sebenarnya akad ijarah, yang cara penetapan ujrah-nya wajib berupa jumlah nominal yang jelas (ma’lûm), bukan berupa persentase tertentu dari nilai transaksi. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhâm Al Iqtishâdi fî Al Islam, hlm. 90).

Demikianlah puan hukum mengenai shopee pay later, solusinya sebaiknya gunakan Shopee pay dengan mengisi Shopee pay ketika saat hanya transaksi saja wallahualam bissawab.


Comments

Popular Posts