FIKIH NIKAH #4 : Syarat-Syarat Pernikahan Bag 1

 

FIKIH NIKAH #4 : Syarat-Syarat Pernikahan Bag 1

(Ustadz Raehanul Bahraen - Indonesia Bertauhid)

Link youtube


Bab Syarat-Syarat Pernikahan

Ketika kita akan menikah syaratnya adalah :

(1) Ridho dari kedua maslahat mempelai

Intinya menikah ini tidak boleh dipaksakan, harus benar-benar Ridho, harus saling ikhlas. Bukan lagi zamannya Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih yang harus dipaksa.

Kecuali (a) anak kecil, maka bapaknya yang menikahkan, bapaknya yang sayang dengan dia yang mengetahui maslahat. Bapaknya masih bisa menikahkan tanpa Ridho (tanpa izin), karena anak kecil kan belum tahu.

Contohnya adalah pernikahan Aisyah yang berumur 6 tahun dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, tetapi baru digauli diumur 9 tahun. Ini jangan anggap aneh karena kematangan dan kebiasaan nikah itu berbeda-beda di setiap zaman, mungkin saat itu umur 9 10 tahun sudah bongsor sudah gede anak-anaknya nggak seperti sekarang. Berbeda cuaca, pemikiran dan sebagainya, jadi ini pun ada penjelasan panjangnya. Jangan sampai ada yang mempermasalahkan, karena sekarang orang liberal itu mempermasalahkan Rasulullah SAW itu pedofilia (suka sama anak kecil), jawabannya sangat gampang dan sangat mudah karena pada saat itu memang biasa nikah dengan umur segitu. Bahasa kasarnya Abu Jahal sama Abu Lahab saja yang mencari berbagai cara untuk mengolok-olok dakwah Rasulullah SAW tidak mempersalahkan, maka kenapa kalian mempermasalahkan.

(b) kemudian yang boleh dipaksa, tidak perlu izin yaitu budak.. Budak boleh dinikahkan oleh tuannya tanpa minta izin karena tuannya lebih berhak

(2) Nikah itu perlu Wali

Jadi syarat nikah adalag Wali, kalau tidak ada Wali maka tidak sah. Kenapa harus ada Wali?

Karena perempuan secara umum memiliki hati yang lemah, mudah terpengaruh dengan berbagai macam godaan, contohnya kata-kata romantis.
Jadi kalau ada perempuan sudah kena gombalannya, perhatiannya, akalnya laki-laki maka dia sudah klepek-klepek, sudah cinta mati dengan laki-laki itu, padahal laki-lakinya mungkin brengsek, tetapi karena gombalannya dia tetap menikah, tetap memilih laki-laki tersebut.

Saya menemukan beberapa banyak kasus seperti ini, sudah terlanjur klepek-klepek dengan gombalan, janji manis, perhatian dia langsung buta, padahal syarat utamanya harus perhatian, harus baik, harus tanggung jawab, maka inilah pentingnya Wali.

Wali adalah seorang laki-laki, laki-laki yang sayang dengan dia dan lebih mengutamakan logika dibandingkan perasaan. Wali itu tidak bisa ibu, kareba Ibu juga main perasaan, nanti dia milihnya pakai perasaan, padahal kita harus benar-benar yakin laki-laki ini yang penting agama, akhlak dan tanggung jawabnya, bukan sekedar pintar merangkai kata, pintar ngomong dan sebagainya. Inilah pentingnya Wali.

Dan yang paling berhak untuk menikahkan wanita yang merdeka atau menjadi wali adalah (1) bapaknya, kakeknya dan ke atas terus, kakek dari kakeknya, itu yang paling berhak, (2) kemudian yang paling berhak anaknya, kemudian anak dari anaknya/ cucunya, karena yang paling dekat dan yang paling sayang adalah anak dan bapak, tapi memang ada ikhtilaf ulama yang mengatakan setelah bapak itu pamannya bukan anaknya, tapi pendapat ulama pendapat yang dipilih oleh penulis kitab ini adalah anaknya, ya karena yang paling sayang itu anaknya.

Kemudian yang ketiga itu (3) kerabat yang paling dekat dari ashobah.
Ashoba itu dalam ilmu hadits "yang berhak menerima warisan setelah keluarga inti" dan akrab ini contohnya adalah saudara laki-laki Ibu, Saudara laki-lakinya.

Jadi kalau nggak punya anak, nggak ada bapaknya, ya saudara laki-lakinya, baik laki-laki dan sekandung, laki-laki sebapak, baru laki-laki seibu, barulah pamannya, dsb.

Ini yang berhak menjadi wali nikah hanya laki-laki dan itu pun dari keluarga Bapak. Jadi kalau Paman dari Ibu tidak bisa menjadi wali, karena sang Ibu nanti memilih pakai perasaan dan bisa mempengaruhi saudara laki-lakinya.

Comments

Popular Posts