Silaturahmi ke Kak Edi dan Bu Ana

 Izin cerita juga, beberapa hari lalu (12 Maret) aku ceritanya silaturahmi sama guruku. Istrinya adalah guru SMA ku dulu, dan suaminya adalah guru lesku. Aku jarang silaturahmi, padahal jarak rumahnya juga ga jauh, cuma beda kelurahan aja, karena kalau silatutrahmi bakal selalu ditanya visi misi kedepan mau gimana, dll. Karena kebetulan bu guru habis melahirkan, jadi aku merasa waktunya pas aja, aku pikir mungkin nanti lebih banyak bahas debaynya. Eh pas datang, dugaanku salah, tetep aja aku dibombardir pertanyaan terkait langkah2 ku kedepan gimana. Sebenarnya memang pertanyaannya bagus banget, karena buat memicu diri aku sendiri.


Nah background aku kan dulu memang semasa SMA nilai tuh naik terus gitu, ini guru les aku yang menilai. Memang bukan juara kelas, tapi selalu meningkat gitu, dari yg awalnya peringkat 5 (pas kelas x), lalu jadi peringkat 2 (kelas xi), sampai di kelas xii tuh jadi peraih nilai UN tertinggi sekelas.


Akhirnya aku masuk kuliah, mulai belajar organisasi, dll, tapi ketika menuju tugas akhir diri aku bermasalah sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Keputusan itu engga aku buat mendadak, itu aku lakukan setelah aku tetap berjuang mengerjakan tugas akhir, sampai pindah laboratorium (aku masuk jurusan bidang sains), sampai molor 2 tahun dari yang seharusnya aku lulus, tapi aku tetap merasa stuck disitu2 aja. Akhirnya aku pulang ke rumah dan mencoba menjauh dari dunia, sambil introspeksi diri. Dari situ aku merasa ada proses yang salah yang aku jalani saat menempuh kuliah dulu, entah itu mungkin karena aku baru banget masuk organisasi pas kuliah, atau memang pengaruh teman juga, atau memang itu bagian dari diri aku sendiri. Mungkin juga bagian dari apa yang disebut dengan "karma", karena sebelumnya aku merasa aku menjalani proses yang salah. Proses disini dalam hal aku belajar ya, hehe bukan karena yang lain😁


Lama aku di rumah dan memutus kontak dari teman-teman. Kalau tidak salah dari ketika berita covid pertama muncul, dan semua mengharuskan wfh. Selama dirumah aku ikut2 webinar/boothcamp biar tetap ada kegiatan, kayaknya hampir semua bidang aku ikutin, selama itu gratis🤭.


Lalu beberapa bulan atau sepertinya setahun kemudian aku ditimpa sakit dbd, paaas banget waktunya seminggu sebelum lebaran dan pas malem takbiran aku nginep di klinik.


Setelah sakit itu, aku mulai ikuti webinar2 keagamaan, dari situ aku baru berani interaksi (mungkin juga karena pesertanya banyak akhwat) dan akhirnya mendapat banyak teman online, beberapa bulan kemudian aku mulai kerja ditempat pamanku. Aku juga mulai menyapa kembali teman-temanku, germasuk guru lesku itu. Tapi, karena aku ga betah kerja disana karena karyawannya lebih banyak laki2, akhirnya setelah 2x dapat gaji, aku memutuskan berhenti.


Eh pas berhenti, kebetulan banget, mamah sakit. Ada luka di kakinya, dan karena ada diabetes, jadi lukanya lama sembuh. Akhirnya aku dirumah terus, ga ada yg urus pekerjaan rumah. Sebulan luka masih tetap basah, eh sebulan selanjutnya lukanya malah menyebar setelah ikhtiar berobat kesana-kemari, sampai akhirnya mamah wafat dan itu di oktober 2022.


Setelah kepergian mamah itu, aku ada sedikit merenung. Mungkin ini salah satu hikmah yang aku dapat dari serangkaian kejadian yang aku alami sampai2 aku memutuskan untuk berhenti kuliah pada waktu itu. Yaitu bisa menemani mamah sampai mamah wafat.  Karena pada saat kuliah dulu, aku punya mimpi untuk kuliah ke jerman, lalu kalau aku sampai lulus, dan impianku itu terwujud, mungkin aku ga bisa disamping mamah menemani dan membantu di akhir-akhir waktunya.


Positifnya:

Selama masa-masa ketika aku dirumah aja, selama introspeksi diri itu, aku kan bener2 ga kontakan sama teman2ku. Tapi ada gitu harapan dari lubuk hati terdalam tuh "ingin punya teman yang lanjut S3 di luar negeri", walau merasa ga mungkin juga karena aku ikut webinar/boothcamp aja tuh, yg tugasnya harusnya kelompok, aku kerjain sendiri, aku ga berani menyapa yg lain karena aku sendiri insecure dan bingung sama background pendidikan aku, apakah aku harus bilang kalau aku lulusan sma, tapi aku cukup tua umurnya, atau aku harus bilang aku pernah kuliah di universitas x tetapi tidak sampai lulus, akhirnya aku tetap diam di grup. Tapi karena waktu itu grupnya di telegram, dan aku termasuk pengguna baru, dan aku salah pencet, dari situ aku malah dapat teman, dan beberapa bulan  kemudian teman baru ku itu mengabarkan kalau dia baru sampai di Jepang untuk studi doktoralnya. Speechless banget dong aku dari situ, ga terduga, ga nyangka banget apa yang aku harapkan justru jadi kenyataan, padahal waktu itu aku merasa ga mungkin banget.


Trus semenjak mamah sakit itu aku ikut komunitas odoj, karena aku dirumah aja aku ingin biar punya target tilawah setiap hari kan. Setelah mamah wafat, beberapa bulan kemudian aku ikut program menghafal al-quran beserta artinya gitu di AMMA Ihyaul Quran, pesertanya di grupku banyak ibu-ibu, beberapa bulan kemudian ada peserta baru masuk grup, dan ga nyangka salah satunya cuma beda setahun aja, seneng dong akhirnya punya teman seumuran. Tapi liat nomornya, dari luar, akhirnya aku tanya2, ternyata dia sedang studi S2 di Jerman, bahkan S1-nya pun disana. Aku merasa amaze banget sama caranya Allah mempertemukan aku sama dia, aku yang dulunya punya mimpi kuliah disana, justru dapat teman dari komunitas yang aku ikuti yang sedang berkuliah disana. Lumayan banget, mengobati kerinduan akan mimpi2ku dulu.


Minus-nya, sampai sekarang aku masih stay di rumah, belum ada progress dari aku sendiri terkait aku kedepannya gimana. Masa2 suram ku (2 tahun molor), masa2 intospeksi ku yang beberapa bulan diem di rumah ga ada interaksi dengan teman, pun sampai ketika aku memutuskan berhenti kuliah, masa2 kala itu membuat aku cukup meragukan tujuan hidupku sendiri, dan bahkan keputusan aku berhenti pun membuat aku ragu melangkah kedepannya bagaimana.


Tapi setelah mendapat teman2 online, banyak dari mereka bahkan seumuran dengan adikku, aku merasa punya adik2 baru, dan terkadang mereka curhat atau tanya2 terkait impian2  mereka atau terkait perkuliahan karena aku pernah kuliah. Dikala aku bingung dengan mimpiku sendiri, rasanya senang sekali punya adik2 yang masih fresh dan semangat untuk meraih mimpi2nya. Dari situ aku mulai memberanikan diri untuk memiliki mimpi yang baru. Aku sudah memiliki keinginan untuk berkuliah lagi, tapi di jurusan yang berbeda, tapi hal ini belum aku eksekusi karena dananya belum ada😅, karena bapakku sedang menguliahkan adikku dan sedang membayar hutangnya juga ke bank.


Nah kembali ke cerita aku diawal, dimana aku silaturahmi ke guru. Aku terakhir bertemu guru2 ku itu ketika mamah wafat, karena mereka mendatangi rumahku, dan lalu aku baru silaturahmi lagi beberapa hari yang lalu. Berarti sudah hampir 1,5 tahun sejak silatirahmi terakhir, tapi aku masih stucl di rumah terus. Lalu guru ku bilang yang intinya begini, ini pakai bahasaku sendiri ya :

"Masa-masa sekolah, bagusnya tuh memang untuk meraih mimpi. Selain karena lingkungannya jelas (karena dikelilingi teman2 yang sama2 belajar untuk kuliah, saingannya pun ada misal ingin meraih peringkat), target yang dicapai jelas (ingin kuliah kemana), dan waktunya juga jelas (kalau untuk UN ya beratti belajarnya sampai menjelang UN, kalau belajar untuk SBMPTN ya belajarnya sampai detik2 menjelang SBMPTN juga).


Tapi ketika dewasa, lingkungannya pun jadi berbeda, mungkin ada teman2 yang sudah nikah dan sudah punya anak, teman2 lain yang lanjut studi s2, atau teman2 lain yang sudah asyik dengan pekerjaannya sendiri, dan sekarang kamu sendirian yang baru mau merajut mimpi ditengah lingkungan yang sudah bercampur baur seperti itu. Kalau ga ada target waktu yang jelas, mimpi yang mulai kamu rajut kembali itu akan percuma"


Hikmah yang aku dapat dari ceritaku sendiri :

- Ketika kamu mengalami masalah, mengalami serangkaian masalah sampai kamu bertanya2 "apa sih yang aku dapatkan dari semua ini? Kayaknya ga berhenti2". Percayalah, setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Hikmah itu mungkin ga bisa kamu liat saat itu juga, tapi baru kamu rasakan beberapa waktu kemudian, wallahualam.

- Apa yang kamu harapkan, sekecil apapun kemungkinannya, kalau Allah memang berkata iya, ya harapan itu akan terwujud. Jadi jangan pernah putus harapan meski kamu merasa ga mungkin. Toh kalaupun memang harapan itu tak terwujud, siapa tau kamu ternyata diarahkan ke jalan yang terbaik (menurut Allah) yang bahkan ga pernah kamu duga.

- Lalu kalau doa sebaiknya jangan muluk2. Aku pas berharap "ingin punya teman yang S3 di luar negeri", ketika tenyata terwujud, justru menyesal, kenapa ya engga sekalian berharap kalau aku yang S3 di luar negerinya, atau kenapa ya engga sekalian berharap bukan cuma teman tapi jodoh/suami hehe😅, karena temen aku yg studi di sana itu kebetulan laki2😅

-Dan terakhir, kalau kamu punya goals atau mimpi lain, atau bahkan seperti aku yang baru berani merajut mimpi lagi. Jangan cuma jadi pemimpi, tapi jadilah pejuang mimpi. Eksekusi mimpi2 tersebut dengan step yang jelas, dan target waktu yang jelas. Semangat


Ps : tadinya mikir apa ga jadi aja silaturahminya, karena selalu merasa ga cukup sama barang bawaan. Kebetulan bapak baru beli dukuh yang banyak waktu itu, alhasil bawa dukuh juga deh. Makasih bapaak

Comments

Popular Posts